IQ or EQ
HRD 1 : Gimana sih hasil rekrutan loe…? Masa’ baru kerja beberapa bulan, masa probation aja belom kelar udah keluar?? Kayaknya hasil rekrutan loe banyak yang begitu deh..??
HRD 2 : Iya nih.. gue juga bingung, padahal mereka itu orang-orang yang outstanding lho.. coba loe bayangin IP gak ada yang kurang dari 3, dari universitas terkemuka pula, trus hasil tes IQ nya superior pula...!! Apa yang salah ya...??
Percakapan itu terjadi 4 tahun yang lalu di kantin PT. XXX - salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia – di Kuningan Jakarta Selatan. Percakapan itu antara dua orang staf Human Resource Department (HRD), mereka bekerja pada divisi rekrutmen, divisi mereka adalah yang paling bertanggung jawab atas rekrutmen karyawan baru. Issue di divisi ini adalah barang siapa rekruter (orang yang merekrut, biasanya dalam satu perusahaan ada beberapa rekruter) yang hasil rekrutannya bekerja bagus, loyal, berkontribusi secara signifikan terhadap perusahaan berarti dia seorang rekruter yang bagus dan mendapatkan poin. Dan sebaliknya yang hasil rekrutannya bekerja dengan buruk, baru kerja sebentar sudah keluar, tidak disipline, dsb, berarti dia bukan rekruter yang bagus, tidak mendapat poin, bahkan mungkin mendapat punishment.
Menurut anda apakah yang membuat karyawan-karyawan pilihan HRD 2 sering ‘mental’ ditengah jalan?
Atas saran HRD 1 maka dilakukanlah investigasi mengenai kinerja para mantan karyawan hasil rekrutan HRD 2 tersebut. Dan ternyata hasilnya cukup menarik. Beberapa diantara mereka ternyata ‘mental’ karena tidak mampu bergaul dengan sesama karyawan lain. Cuma karena itu? Ya karena itu, tapi tanpa kata ‘cuma’ karena bergaul adalah hal yang sulit untuk banyak orang.
Adalah benar bahwa Intelligence Quotient (IQ) merupakan hal yang sangat penting, karena IQ yang tinggi dapat membuat orang selalu menjadi nomor satu dikelas, IQ yang tinggi bisa membuat kita mendapat gelar siswa berprestasi, mendapat hadiah sepeda dari Bapak Ibu sewaktu SD, dikagumi kawan-kawan, mendapat beasiswa, dan banyak keuntungan lainnya. Akan tetapi sebaiknya kita juga melatih yang namanya Emotional Quotient (EQ), atau kecerdasan emosional.
EQ adalah kemampuan kita menempatkan diri, kemampuan kita bergaul, kemampuan untuk mengetahui dengan baik kapan kita harus berperilaku A dan kapan kita harus berperilaku B, kepada siapa kita bisa berbicara keras kepada siapa kita sebaiknya berbicara lembut, dan sebagainya.
Baik IQ maupun EQ ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor herediter (keturunan) dan faktor environmental (lingkungan). Faktor keturunan menentukan potensi sedangkan lingkungan menentukan hasil akhir. Jika seorang anak terlahir dari orang tua yang ber IQ tinggi, maka dia telah mempunyai cikal, tunas yang bagus. Akan tetapi apakah tunas itu akan tumbuh subur, kuat dan sehat tergantung dari pupuk dan perawatan yang diberikan. Makanan yang baik, berkualitas, lingkungan rumah tangga yang nyaman, harmonis, penuh kasih sayang dan kebahagiaan akan mengoptimalkan tumbuh kembangnya sang cikal atau anak. Tetapi sebaliknya jika anak yang berpotensi bagus itu tidak dirawat dengan baik, makanan yang tidak bergizi, lingkungan rumah tangga yang tidak harmonis, penuh pertengkaran, dan sebagainya, maka akan mematikan potensi anak tersebut.
Bagaimana jika sang anak telah menjadi lebih dewasa atau bahkan dewasa, sedangkan EQ nya kadung tidak terlatih? Memang relatif sulit untuk mengubahnya, tetapi beter too late than never, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, misalkan ikut berorganisasi, bergaul dengan lebih banyak orang, melatih empati (kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain), menyadari bahwa ada norma sosial, menyadari bahwa ada social desire behavior, beberapa perilaku disukai oleh masyarakat, tetapi ada juga perilaku yang tidak disukai.
Dengan beberapa latihan tersebut InsyaAllah EQ kita menjadi lebih terlatih, dan kita dapat meraih kecerdasan emosional. Dengan itu pergaulan menjadi semakin luas, semakin memperluas link, dan pintu kesuksesan menjadi semakin terbuka. Amin.
DO YOU KNOW?
IQ hanya berpengaruh secara signifikan terhadap kesuksesan (Pendidikan) seseorang sampai dengan masa SMU, sedangkan pada masa kuliah dan kerja EQ-lah yang lebih berperan.
Oleh: Lukman Nul Hakim
HRD 2 : Iya nih.. gue juga bingung, padahal mereka itu orang-orang yang outstanding lho.. coba loe bayangin IP gak ada yang kurang dari 3, dari universitas terkemuka pula, trus hasil tes IQ nya superior pula...!! Apa yang salah ya...??
Percakapan itu terjadi 4 tahun yang lalu di kantin PT. XXX - salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia – di Kuningan Jakarta Selatan. Percakapan itu antara dua orang staf Human Resource Department (HRD), mereka bekerja pada divisi rekrutmen, divisi mereka adalah yang paling bertanggung jawab atas rekrutmen karyawan baru. Issue di divisi ini adalah barang siapa rekruter (orang yang merekrut, biasanya dalam satu perusahaan ada beberapa rekruter) yang hasil rekrutannya bekerja bagus, loyal, berkontribusi secara signifikan terhadap perusahaan berarti dia seorang rekruter yang bagus dan mendapatkan poin. Dan sebaliknya yang hasil rekrutannya bekerja dengan buruk, baru kerja sebentar sudah keluar, tidak disipline, dsb, berarti dia bukan rekruter yang bagus, tidak mendapat poin, bahkan mungkin mendapat punishment.
Menurut anda apakah yang membuat karyawan-karyawan pilihan HRD 2 sering ‘mental’ ditengah jalan?
Atas saran HRD 1 maka dilakukanlah investigasi mengenai kinerja para mantan karyawan hasil rekrutan HRD 2 tersebut. Dan ternyata hasilnya cukup menarik. Beberapa diantara mereka ternyata ‘mental’ karena tidak mampu bergaul dengan sesama karyawan lain. Cuma karena itu? Ya karena itu, tapi tanpa kata ‘cuma’ karena bergaul adalah hal yang sulit untuk banyak orang.
Adalah benar bahwa Intelligence Quotient (IQ) merupakan hal yang sangat penting, karena IQ yang tinggi dapat membuat orang selalu menjadi nomor satu dikelas, IQ yang tinggi bisa membuat kita mendapat gelar siswa berprestasi, mendapat hadiah sepeda dari Bapak Ibu sewaktu SD, dikagumi kawan-kawan, mendapat beasiswa, dan banyak keuntungan lainnya. Akan tetapi sebaiknya kita juga melatih yang namanya Emotional Quotient (EQ), atau kecerdasan emosional.
EQ adalah kemampuan kita menempatkan diri, kemampuan kita bergaul, kemampuan untuk mengetahui dengan baik kapan kita harus berperilaku A dan kapan kita harus berperilaku B, kepada siapa kita bisa berbicara keras kepada siapa kita sebaiknya berbicara lembut, dan sebagainya.
Baik IQ maupun EQ ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor herediter (keturunan) dan faktor environmental (lingkungan). Faktor keturunan menentukan potensi sedangkan lingkungan menentukan hasil akhir. Jika seorang anak terlahir dari orang tua yang ber IQ tinggi, maka dia telah mempunyai cikal, tunas yang bagus. Akan tetapi apakah tunas itu akan tumbuh subur, kuat dan sehat tergantung dari pupuk dan perawatan yang diberikan. Makanan yang baik, berkualitas, lingkungan rumah tangga yang nyaman, harmonis, penuh kasih sayang dan kebahagiaan akan mengoptimalkan tumbuh kembangnya sang cikal atau anak. Tetapi sebaliknya jika anak yang berpotensi bagus itu tidak dirawat dengan baik, makanan yang tidak bergizi, lingkungan rumah tangga yang tidak harmonis, penuh pertengkaran, dan sebagainya, maka akan mematikan potensi anak tersebut.
Bagaimana jika sang anak telah menjadi lebih dewasa atau bahkan dewasa, sedangkan EQ nya kadung tidak terlatih? Memang relatif sulit untuk mengubahnya, tetapi beter too late than never, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, misalkan ikut berorganisasi, bergaul dengan lebih banyak orang, melatih empati (kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain), menyadari bahwa ada norma sosial, menyadari bahwa ada social desire behavior, beberapa perilaku disukai oleh masyarakat, tetapi ada juga perilaku yang tidak disukai.
Dengan beberapa latihan tersebut InsyaAllah EQ kita menjadi lebih terlatih, dan kita dapat meraih kecerdasan emosional. Dengan itu pergaulan menjadi semakin luas, semakin memperluas link, dan pintu kesuksesan menjadi semakin terbuka. Amin.
DO YOU KNOW?
IQ hanya berpengaruh secara signifikan terhadap kesuksesan (Pendidikan) seseorang sampai dengan masa SMU, sedangkan pada masa kuliah dan kerja EQ-lah yang lebih berperan.
Oleh: Lukman Nul Hakim
Labels: Popular Psychology
0 Comments:
Post a Comment
<< Home