The Influence of Intensity in keeping up Terrorism Information and Attitude towards Terrorism
By : Lukman Nul Hakim
Abstract
The aim of this research is to study the effect of intensity of following news regarding terrorism to attitude towards terrorism. Research conducted using randomized two group design post test only. Subject of this research is 70 people, namely 28 people with lower intensity and 42 people with higher intensity of following news regarding terrorism. The sampling technique used is incidental sampling. In analyzing the data t-test technique is used. The result of the research shows that there is no significant difference between subject with low and high intensity of following news regarding terrorism with their attitude towards terrorism within the three aspect of attitude i.e. cognitive, affective and behavior. As additional research, researcher compared also the subject’s attitude in respect of their gender, marital status, age and educational background. Among the four additional dimensions, the t-score of educational background found to be the highest, though still insignificant. For further research, attitude towards terrorism of people from varied educational background with higher number of sample is recommended.
Dua Sisi Koin Media
Media bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi media berperan penting dalam penyebaran informasi dan mengedukasi masyarakat namun disisi lain dibutuhkan kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menerima berita, karena jika tidak, maka media justru dapat memberikan pengaruh yang buruk. Seperti dikatakan oleh Fiske & Taylor (1991) masyarakat memandang bahwa berita di media adalah sebuah kebenaran. Masyarakat merasa tidak perlu mengkritisi isi berita.
Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir...
"Saya dengar dari kawan-kawan disana yang melihat jenazah Dulmatin. Baunya wangi dan darah masih mengalir. Kenapa demikian, itu membuktikan kalau teroris lima menit setelah mati pasti busuk," kata Ba'asyir.
diterima oleh berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang pendidikan, pengalaman hidup, dan interest. Bagi sebagian orang berita tersebut mungkin hanya dianggap sebagai berita biasa, bagi sebagian lainnya berita itu diterima sebagai pernyataan dari seorang tokoh, bagi media pernyataan tersebut merupakan sebuah informasi yang saleable, dan bahkan bagi mereka yang mempunyai pemikiran sejalan dengan teroris berita tersebut bisa menjadi pembenaran atas pemikiran mereka, dan terlebih lagi pembenaran atas aksi pembunuhan terhadap orang-orang tertentu.
Bagi kelompok orang dengan kategori terakhir, pernyataan Ba’asir bagaikan pupuk yang membuat tanah menjadi gembur. Karena seperti hasil penelitian Profesor Sarlito Wirawan Sarwono terhadap para teroris yang berhasil ditangkap kepolisian, bahwa faktor yang sangat penting bagi teroris adalah senior mereka. Sarlito (2009) menuliskan dalam laporan penelitiannya “dalam kelompok (teroris) terasa sekali dominasi ikhwan-ikhwan yang dituakan di masing-masing kelompok. Tidak ada yang berani berpendapat lain dari apa yang dikemukakan para ikhwan senior tersebut. Tidak ada kritik, silang pendapat, apalagi demokrasi”. Budaya ‘Sami’na wa ato’na’ yang maksudnya ‘kami mendengar dan kami mengikuti (perkataan guru kami)’ telah menjadi pedoman berperilaku. Bagi para teroris yang berhasil ditangkap, perkataan gurunya merupakan kebenaran yang tidak untuk diperdebatkan.
Sambutan yang luar biasa terhadap jenajah Dulmatin, sehingga menjadikannya bagai pahlawan dan ditambah dengan sikap tokoh yang positif terhadap Dulmatin seakan menjadi reward atas perilaku Dulmatin maupun pelaku teroris lainnya. Teroris yang bagi hukum positif Negara Indonesia mempunyai image negatif, seakan-akan menjadi ber-image positif.
Penulis berkeyakinan bahwa pemberitaan mengenai aksi terorisme yang sangat gencar akan memberikan pengaruh bagi para audiensnya, untuk itu penulis ingin melihat sejauh mana pemberitaan mengenai terorisme mempengaruhi audiensnya. Untuk itu pertanyaan berikut diformulasikan : Apakah terdapat pengaruh dari intensitas mengikuti informasi tentang terorisme terhadap sikap mengenai terorisme?
Hasil Penelitian
- Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian secara total berjumlah 70 orang. Dengan karakteristik sebagai berikut, berdasarkan jenis kelamin 34 subjek adalah laki-laki dan 36 orang perempuan. Sedangkan berdasarkan usia, 34 subjek berusia 29 tahun kebawah, dan 36 subjek diatas 30 tahun. Untuk status perkawinan 35 subjek telah menikah dan 35 lainnya belum menikah. Latar belakang pendidikan subjek cukup bervariasi, strata satu dan dibawahnya berjumlah 29 subjek, dan strata dua keatas sebanyak 41 subjek.
Penelitian ini utamanya bermaksud melihat perbedaan sikap dari orang-orang yang mengikuti pemberitaan mengenai terorisme dengan intensitas tinggi dan intensitas rendah. Namun demikian terdapat 4 penelitian tambahan yaitu pengaruh gender, usia, status perkawinan dan latar belakang pendidikan terhadap sikap mengenai terorisme.
Berikut hasil mean score tiap-tiap dimensi pengukuran :
Hasil perhitungan uji signifikansi dengan t-test untuk mengetahui pengaruh intensitas mengikuti informasi terorisme terhadap sikap mengenai terorisme menghasilkan skor 0.6777. Hasil ini lebih rendah dari skor table pada LOS 0.05. Hasil ini menunjukkan tidak ada pengaruh dari intensitas mengikuti informasi terorisme terhadap sikap mengenai terorisme.
Pada uji siginifikansi dimensi tambahan yaitu gender, usia, status perkawinan dan latar belakang pendidikan dan pengaruhnya terhadap sikap mengenai terorisme, pada kesemua dimensi skor t-test lebih kecil dibandingkan t table, yang juga berarti tidak adanya pengaruh dari keempat dimensi tersebut terhadap sikap mengenai terorisme. Namun demikian terdapat perbedaan skor t diantara kelima dimensi diatas. Jika diurutkan maka skor t terbesar yaitu 1.044 untuk dimensi latar belakang pendidikan, disusul oleh dimensi intensitas mengikuti pemberitaan tentang terorisme sebesar 0.677, kemudian dimensi gender 0.576, dimensi status perkawinan 0.025 dan terakhir dimensi usia 0.024.
Dengan hasil ini maka Hipotesa alternatif bahwa Intensitas mengikuti informasi terorisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap mengenai terorisme ditolak. Sedangkan hipotesa null yang menyatakan bahwa Intensitas mengikuti informasi terorisme tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap mengenai terorisme, diterima.
- Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari intensitas mengikuti informasi terorisme terhadap sikap mengenai terorisme. Hasil ini berlawanan dengan hasil beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa eksposur terhadap media mempengaruhi perilaku yang merupakan salah satu domain dari sikap.
L. Rowell Huesmann menunjukkan bahwa eksposur terhadap kekerasan di media mengakibatkan anak-anak berperilaku lebih agresif dan mempengaruhi mereka ketika dewasa nanti. Hasil ini juga berlawanan dengan pendapat Innis (1950) bahwa sifat dasar teknologi media sangat berpengaruh terhadap cara berfikir dan berperilaku masyarakat.
Menurut peneliti perbedaan hasil ini bisa muncul dikarenakan beberapa faktor. Yang utama adalah karena pemilihan sampling. Dalam menyebarkan skala sikap peneliti menggunakan sarana internet yaitu melalui email dan website. Secara otomatis penggunaan internet telah menyaring jenis responden, yaitu orang-orang yang melek teknologi. Jadi ada homogenitas responden yaitu orang-orang yang biasa menggunakan teknologi khususnya internet. Homogenitas ini menghasilkan respon jawaban terhadap skala sikap yang homogen sehingga tidak memunculkan perbedaan yang signifikan diantara responden penelitian.
Faktor kedua adalah faktor penggunaan email dalam mengirimkan dan mengembalikan skala sikap kepada peneliti. Ketika responden menjawab skala sikap dan mengembalikannya melalui email maka secara otomatis peneliti mengetahui responden yang mana menjawab apa dalam skala sikapnya. Dengan kata lain anonimitas yang telah direncanakan pada awalnya dengan responden tidak perlu menuliskan nama pada halaman skala sikap tidak tercapai. Berbeda halnya dengan proses menjawab skala sikap melalui website, anonimitas terjaga. Meskipun pengisian skala sikap melalui email dan website sama-sama menggunakan medium internet namun peneliti tidak dapat mengetahui siapa menjawab apa dalam skala sikap.
Faktor ketiga adalah latar belakang pendidikan yang setara. Responden penelitian ini totalnya berjumlah 70 orang. 1 orang berpendidikan Diploma 1 tahun, 8 orang Diploma 3 tahun, 20 orang strata 1, 39 orang strata 2 dan 2 orang strata 3. Secara umum para responden sudah merasakan jenjang pendidikan tinggi.
Yang menarik adalah dari 5 dimensi yang diukur, skor t-test untuk perbedaan sikap terhadap terorisme pada orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda menunjukkan hasil skor yang paling tinggi meskipun belum signifikan. Artinya diantara intensitas mengikuti informasi, gender, status pernikahan, usia dan latar belakang pendidikan, maka perbedaan dalam latar belakang pendidikan lah yang mempunyai potensi perbedaan. Mean skor kelompok dibawag pendidikan S1 sebesar 88.586, sedangkan kelompok S2 keatas 91. Semakin besar angkanya maka semakin tidak pro terhadap terorisme dan sebaliknya.
Melihat hasil penelitian ini peneliti mendorong untuk dilakukan penelitian sejenis tetapi lebih memfokuskan diri pada perbedaan latar pendidikan dan kaitannya dengan sikap terhadap terorisme. Perbandingan yang akan dilihat adalah perbedaan pada responden yang berpendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Atas versus yang telah memasuki pendidikan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa dua pembom bunuh diri di hotel Ritz Carlton dan J.W. Marriot pada tanggal 17 Juli 2009 adalah siswa dan alumni SLTA (Sarlito, 2009).
Penelitian lain yang juga sebaiknya dilakukan adalah penelitian sejenis dengan fokus pada responden usia remaja. Hidayat (dalam Sarlito, 2009) menuliskan bahwa sangat diperlukan penelitian tentang sampai seberapa jauh radikalisme telah masuk ke dunia remaja masjid, sekolah lanjutan, dan kampus-kampus universitas di seluruh Indonesia, sekaligus untuk membuat peta radikalisme di Indonesia, karena di masa depan radikalisme pasca JI akan tumbuh dari kalangan generasi muda.
Erikson (1970, dalam Santrock 2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral : pembelajaran moral yang spesifik di masa kanak-kanak, perhatian terhadap ideology pada masa remaja, dan konsolidasi etis dimasa dewasa. Selama masa remaja individu melakukan pencarian identitas. Menurut Santrock bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka cenderung merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong, setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa remaja keusaha mencari ideology yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka. Agar suatu ideology dapat diterima, harus ada bukti nyata dan haruslah sesuai dengan kemampuan remaja untuk berfikir logis. Bila orang lain juga memiliki ideology yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat pun terbentuk. Bagi Erikson, ideology berperan sebagai pelindung identitas selama masa remaja karena ideology memberikan perasaan adanya tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi arti bagi tingkah laku. Hoffman (1980, dalam Santrock 2003). Menurut Santrock (2003) terdapat lebih dari 2500 sekte pemujaan di Amerika Serikat. Dua hingga tiga juta remaja dan dewasa muda menjadi anggota sekte. Kondisi tersebut menggambarkan ketertarikan orang-orang usia remaja yang berada dalam kegamangan tentang identitas agamanya, dan kondisi ini rentan untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi dan rendahnya intensitas mengikuti informasi tentang terorisme tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap mengenai terorisme. Dan diantara dimensi-dimensi tambahan yang diukur yaitu gender, status pernikahan, usia, latar belakang pendidikan, dan intensitas mengikuti berita, kesemuanya tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap sikap mengenai terorisme.
Nilai mean dimensi latar belakang pendidikan mempunyai skor yang paling tinggi dibanding yang lainnya. Sementara dimensi usia mendapatkan skor mean terendah.
Saran
Sesuai dengan diskusi dibagian pembahasan, dipandang masih sangat diperlukan dilakukan penelitian lanjutan dengan fokus penelitian pada responden yang berbeda-beda dalam hal latar belakang pendidikannya. Perlu diteliti perbandingan perbedaan sikap terhadap terorisme oleh responden yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Atas atau dibawahnya dengan responden yang berpendidikan Strata 1 keatas. Selain itu seperti saran dari Profesor Sarlito Wirawan Sarwono juga perlu dilakukan penelitian tentang terorisme yang terfokus pada subjek penelitian yang berada dalam rentang usia remaja.
* Tulisan ini hanya merupakan cuplikan. Tulisan lengkap dapat dilihat di Jurnal Aspirasi Vol. I No. 1 Juni 2010. Yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR RI.
Abstract
The aim of this research is to study the effect of intensity of following news regarding terrorism to attitude towards terrorism. Research conducted using randomized two group design post test only. Subject of this research is 70 people, namely 28 people with lower intensity and 42 people with higher intensity of following news regarding terrorism. The sampling technique used is incidental sampling. In analyzing the data t-test technique is used. The result of the research shows that there is no significant difference between subject with low and high intensity of following news regarding terrorism with their attitude towards terrorism within the three aspect of attitude i.e. cognitive, affective and behavior. As additional research, researcher compared also the subject’s attitude in respect of their gender, marital status, age and educational background. Among the four additional dimensions, the t-score of educational background found to be the highest, though still insignificant. For further research, attitude towards terrorism of people from varied educational background with higher number of sample is recommended.
Dua Sisi Koin Media
Media bagaikan pedang bermata dua, disatu sisi media berperan penting dalam penyebaran informasi dan mengedukasi masyarakat namun disisi lain dibutuhkan kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menerima berita, karena jika tidak, maka media justru dapat memberikan pengaruh yang buruk. Seperti dikatakan oleh Fiske & Taylor (1991) masyarakat memandang bahwa berita di media adalah sebuah kebenaran. Masyarakat merasa tidak perlu mengkritisi isi berita.
Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir...
"Saya dengar dari kawan-kawan disana yang melihat jenazah Dulmatin. Baunya wangi dan darah masih mengalir. Kenapa demikian, itu membuktikan kalau teroris lima menit setelah mati pasti busuk," kata Ba'asyir.
diterima oleh berbagai lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang pendidikan, pengalaman hidup, dan interest. Bagi sebagian orang berita tersebut mungkin hanya dianggap sebagai berita biasa, bagi sebagian lainnya berita itu diterima sebagai pernyataan dari seorang tokoh, bagi media pernyataan tersebut merupakan sebuah informasi yang saleable, dan bahkan bagi mereka yang mempunyai pemikiran sejalan dengan teroris berita tersebut bisa menjadi pembenaran atas pemikiran mereka, dan terlebih lagi pembenaran atas aksi pembunuhan terhadap orang-orang tertentu.
Bagi kelompok orang dengan kategori terakhir, pernyataan Ba’asir bagaikan pupuk yang membuat tanah menjadi gembur. Karena seperti hasil penelitian Profesor Sarlito Wirawan Sarwono terhadap para teroris yang berhasil ditangkap kepolisian, bahwa faktor yang sangat penting bagi teroris adalah senior mereka. Sarlito (2009) menuliskan dalam laporan penelitiannya “dalam kelompok (teroris) terasa sekali dominasi ikhwan-ikhwan yang dituakan di masing-masing kelompok. Tidak ada yang berani berpendapat lain dari apa yang dikemukakan para ikhwan senior tersebut. Tidak ada kritik, silang pendapat, apalagi demokrasi”. Budaya ‘Sami’na wa ato’na’ yang maksudnya ‘kami mendengar dan kami mengikuti (perkataan guru kami)’ telah menjadi pedoman berperilaku. Bagi para teroris yang berhasil ditangkap, perkataan gurunya merupakan kebenaran yang tidak untuk diperdebatkan.
Sambutan yang luar biasa terhadap jenajah Dulmatin, sehingga menjadikannya bagai pahlawan dan ditambah dengan sikap tokoh yang positif terhadap Dulmatin seakan menjadi reward atas perilaku Dulmatin maupun pelaku teroris lainnya. Teroris yang bagi hukum positif Negara Indonesia mempunyai image negatif, seakan-akan menjadi ber-image positif.
Penulis berkeyakinan bahwa pemberitaan mengenai aksi terorisme yang sangat gencar akan memberikan pengaruh bagi para audiensnya, untuk itu penulis ingin melihat sejauh mana pemberitaan mengenai terorisme mempengaruhi audiensnya. Untuk itu pertanyaan berikut diformulasikan : Apakah terdapat pengaruh dari intensitas mengikuti informasi tentang terorisme terhadap sikap mengenai terorisme?
Hasil Penelitian
- Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian secara total berjumlah 70 orang. Dengan karakteristik sebagai berikut, berdasarkan jenis kelamin 34 subjek adalah laki-laki dan 36 orang perempuan. Sedangkan berdasarkan usia, 34 subjek berusia 29 tahun kebawah, dan 36 subjek diatas 30 tahun. Untuk status perkawinan 35 subjek telah menikah dan 35 lainnya belum menikah. Latar belakang pendidikan subjek cukup bervariasi, strata satu dan dibawahnya berjumlah 29 subjek, dan strata dua keatas sebanyak 41 subjek.
Penelitian ini utamanya bermaksud melihat perbedaan sikap dari orang-orang yang mengikuti pemberitaan mengenai terorisme dengan intensitas tinggi dan intensitas rendah. Namun demikian terdapat 4 penelitian tambahan yaitu pengaruh gender, usia, status perkawinan dan latar belakang pendidikan terhadap sikap mengenai terorisme.
Berikut hasil mean score tiap-tiap dimensi pengukuran :
Hasil perhitungan uji signifikansi dengan t-test untuk mengetahui pengaruh intensitas mengikuti informasi terorisme terhadap sikap mengenai terorisme menghasilkan skor 0.6777. Hasil ini lebih rendah dari skor table pada LOS 0.05. Hasil ini menunjukkan tidak ada pengaruh dari intensitas mengikuti informasi terorisme terhadap sikap mengenai terorisme.
Pada uji siginifikansi dimensi tambahan yaitu gender, usia, status perkawinan dan latar belakang pendidikan dan pengaruhnya terhadap sikap mengenai terorisme, pada kesemua dimensi skor t-test lebih kecil dibandingkan t table, yang juga berarti tidak adanya pengaruh dari keempat dimensi tersebut terhadap sikap mengenai terorisme. Namun demikian terdapat perbedaan skor t diantara kelima dimensi diatas. Jika diurutkan maka skor t terbesar yaitu 1.044 untuk dimensi latar belakang pendidikan, disusul oleh dimensi intensitas mengikuti pemberitaan tentang terorisme sebesar 0.677, kemudian dimensi gender 0.576, dimensi status perkawinan 0.025 dan terakhir dimensi usia 0.024.
Dengan hasil ini maka Hipotesa alternatif bahwa Intensitas mengikuti informasi terorisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap mengenai terorisme ditolak. Sedangkan hipotesa null yang menyatakan bahwa Intensitas mengikuti informasi terorisme tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap mengenai terorisme, diterima.
- Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan dari intensitas mengikuti informasi terorisme terhadap sikap mengenai terorisme. Hasil ini berlawanan dengan hasil beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa eksposur terhadap media mempengaruhi perilaku yang merupakan salah satu domain dari sikap.
L. Rowell Huesmann menunjukkan bahwa eksposur terhadap kekerasan di media mengakibatkan anak-anak berperilaku lebih agresif dan mempengaruhi mereka ketika dewasa nanti. Hasil ini juga berlawanan dengan pendapat Innis (1950) bahwa sifat dasar teknologi media sangat berpengaruh terhadap cara berfikir dan berperilaku masyarakat.
Menurut peneliti perbedaan hasil ini bisa muncul dikarenakan beberapa faktor. Yang utama adalah karena pemilihan sampling. Dalam menyebarkan skala sikap peneliti menggunakan sarana internet yaitu melalui email dan website. Secara otomatis penggunaan internet telah menyaring jenis responden, yaitu orang-orang yang melek teknologi. Jadi ada homogenitas responden yaitu orang-orang yang biasa menggunakan teknologi khususnya internet. Homogenitas ini menghasilkan respon jawaban terhadap skala sikap yang homogen sehingga tidak memunculkan perbedaan yang signifikan diantara responden penelitian.
Faktor kedua adalah faktor penggunaan email dalam mengirimkan dan mengembalikan skala sikap kepada peneliti. Ketika responden menjawab skala sikap dan mengembalikannya melalui email maka secara otomatis peneliti mengetahui responden yang mana menjawab apa dalam skala sikapnya. Dengan kata lain anonimitas yang telah direncanakan pada awalnya dengan responden tidak perlu menuliskan nama pada halaman skala sikap tidak tercapai. Berbeda halnya dengan proses menjawab skala sikap melalui website, anonimitas terjaga. Meskipun pengisian skala sikap melalui email dan website sama-sama menggunakan medium internet namun peneliti tidak dapat mengetahui siapa menjawab apa dalam skala sikap.
Faktor ketiga adalah latar belakang pendidikan yang setara. Responden penelitian ini totalnya berjumlah 70 orang. 1 orang berpendidikan Diploma 1 tahun, 8 orang Diploma 3 tahun, 20 orang strata 1, 39 orang strata 2 dan 2 orang strata 3. Secara umum para responden sudah merasakan jenjang pendidikan tinggi.
Yang menarik adalah dari 5 dimensi yang diukur, skor t-test untuk perbedaan sikap terhadap terorisme pada orang-orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda menunjukkan hasil skor yang paling tinggi meskipun belum signifikan. Artinya diantara intensitas mengikuti informasi, gender, status pernikahan, usia dan latar belakang pendidikan, maka perbedaan dalam latar belakang pendidikan lah yang mempunyai potensi perbedaan. Mean skor kelompok dibawag pendidikan S1 sebesar 88.586, sedangkan kelompok S2 keatas 91. Semakin besar angkanya maka semakin tidak pro terhadap terorisme dan sebaliknya.
Melihat hasil penelitian ini peneliti mendorong untuk dilakukan penelitian sejenis tetapi lebih memfokuskan diri pada perbedaan latar pendidikan dan kaitannya dengan sikap terhadap terorisme. Perbandingan yang akan dilihat adalah perbedaan pada responden yang berpendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Atas versus yang telah memasuki pendidikan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa dua pembom bunuh diri di hotel Ritz Carlton dan J.W. Marriot pada tanggal 17 Juli 2009 adalah siswa dan alumni SLTA (Sarlito, 2009).
Penelitian lain yang juga sebaiknya dilakukan adalah penelitian sejenis dengan fokus pada responden usia remaja. Hidayat (dalam Sarlito, 2009) menuliskan bahwa sangat diperlukan penelitian tentang sampai seberapa jauh radikalisme telah masuk ke dunia remaja masjid, sekolah lanjutan, dan kampus-kampus universitas di seluruh Indonesia, sekaligus untuk membuat peta radikalisme di Indonesia, karena di masa depan radikalisme pasca JI akan tumbuh dari kalangan generasi muda.
Erikson (1970, dalam Santrock 2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahap perkembangan moral : pembelajaran moral yang spesifik di masa kanak-kanak, perhatian terhadap ideology pada masa remaja, dan konsolidasi etis dimasa dewasa. Selama masa remaja individu melakukan pencarian identitas. Menurut Santrock bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka cenderung merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong, setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa remaja keusaha mencari ideology yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka. Agar suatu ideology dapat diterima, harus ada bukti nyata dan haruslah sesuai dengan kemampuan remaja untuk berfikir logis. Bila orang lain juga memiliki ideology yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok masyarakat pun terbentuk. Bagi Erikson, ideology berperan sebagai pelindung identitas selama masa remaja karena ideology memberikan perasaan adanya tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi arti bagi tingkah laku. Hoffman (1980, dalam Santrock 2003). Menurut Santrock (2003) terdapat lebih dari 2500 sekte pemujaan di Amerika Serikat. Dua hingga tiga juta remaja dan dewasa muda menjadi anggota sekte. Kondisi tersebut menggambarkan ketertarikan orang-orang usia remaja yang berada dalam kegamangan tentang identitas agamanya, dan kondisi ini rentan untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi dan rendahnya intensitas mengikuti informasi tentang terorisme tidak berpengaruh secara signifikan terhadap sikap mengenai terorisme. Dan diantara dimensi-dimensi tambahan yang diukur yaitu gender, status pernikahan, usia, latar belakang pendidikan, dan intensitas mengikuti berita, kesemuanya tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap sikap mengenai terorisme.
Nilai mean dimensi latar belakang pendidikan mempunyai skor yang paling tinggi dibanding yang lainnya. Sementara dimensi usia mendapatkan skor mean terendah.
Saran
Sesuai dengan diskusi dibagian pembahasan, dipandang masih sangat diperlukan dilakukan penelitian lanjutan dengan fokus penelitian pada responden yang berbeda-beda dalam hal latar belakang pendidikannya. Perlu diteliti perbandingan perbedaan sikap terhadap terorisme oleh responden yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Atas atau dibawahnya dengan responden yang berpendidikan Strata 1 keatas. Selain itu seperti saran dari Profesor Sarlito Wirawan Sarwono juga perlu dilakukan penelitian tentang terorisme yang terfokus pada subjek penelitian yang berada dalam rentang usia remaja.
* Tulisan ini hanya merupakan cuplikan. Tulisan lengkap dapat dilihat di Jurnal Aspirasi Vol. I No. 1 Juni 2010. Yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR RI.
Labels: intensitas, kuantitatif, media, sikap, terorisme
2 Comments:
jadi ingat lagi masa-masa suka nongkrong di warnet gang-gang sempit india yang romantis itu, hehehe. pa kabar pak luk? dah nerima mantu belon? heheheh
salam kenal pak
saya Michael mahasiswa salah satu Univ. swasta di Jakarta, saat ini saya sedang mengerjakan skripsi yang berkaitan dengan blog mba Nova Riyanti. Saat saya menulusuri blog mba Nova saya melihat bahwa pak Lukman pernah mengunjugi blog tersebut.
Saya ingin minta bantuan pak Lukman, apakah bapak bersedia menjawab beberapa pertanyaan dari saya.
email saya: sniperwara_85@hotmail.com
terima kasih
Post a Comment
<< Home