Meredakan Nyeri Menggunakan Cermin
Rasa sakit pada organ tubuh ternyata dapat dikurangi dengan menggunakan cermin. Para ilmuwan mengatakan, pengobatan tanpa obat ini bisa diterapkan pada pasien dengan sindrom rasa sakit sebagian (CRPS) dan cedera otot yang berulang (RSI). Alasannya, cara ini akan memicu otak untuk mengoreksi penyimpangan yang terdapat pada tubuh.
CRPS terjadi pada satu dari tiga orang pasien yang mengalami patah tulang pada pergelangan tangan. Mereka merasakan... sakit yang terus menerus pada lengan, tangan, atau bahu setelah gips dilepaskan. Rasa yang timbul itu bisa sangat menyakitkan sehingga beberapa pasien ingin melakukan amputasi, ujar Candy McCabe, peneliti dari University of Bath di Inggris yang mengembangkan terapi cermin.
Pada penelitian tersebut, delapan pasien CPRS diminta duduk di depan sebuah cemin panjang. Cermin ini ditempatkan sedemikian rupa sehingga tiap-tiap pasien hanya melihat bagian tubuhnya yang sehat serta bayangannya di cermin.
Lengan yang mengalami nyeri disembunyikan dari pandangan mereka, dan bayangan pada cermin menunjukkan bahwa mereka seolah memiliki dua tangan yang sehat. Mereka kemudian diminta berkonsentrasi dan meyakini bayangan pada cermin itu adalah kondisi nyata.
"Lewat cara ini, tiga pasien mengalami sembuh secara cepat, sedangkan yang lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama," kata McCabe. "Namun, ketika cermin dipindahkan, rasa nyeri kembali muncul."
Meski demikian, lewat terapi cermin secara terus-menerus, enam orang pasien dapat sembuh secara total. Dua pasien lain menjadi perkecualian karena mengalami komplikasi pada tungkai dan penyimpangan fisik yang nyata.
Memperbaiki kesan tubuh
Sejak percobaan McCabe sukses diterapkan pada pasien CPRS dan RSI, ia yakin bahwa rasa sakit timbul karena ketimpangan otak dalam mempersepsikan tubuh dengan kondisi tubuh yang sebenarnya.
Otak terus-menerus mengirimkan sinyal ke tubuh, memperkirakan hal-hal seperti bentuk dan ukuran bagian tubuh serta lokasinya. Sistem sensor syaraf meresponnya dengan mengirimkan kembali informasi itu, memungkinkan otak memperbaiki gambarannya terhadap tubuh.
"Ketika lengan tidak dapat digerakkan karena di-gips, terjadilah ketimpangan persepsi," ujar McCabe, "Otak mengirimkan sinyal ke lengan tetapi tidak mendapatkan jawaban, sehingga otak akan membentuk sendiri kesan rasa sakit di bagian tubuh itu."
Banyak orang sembuh dari ’kebingungan’ itu secara spontan ketika gips di lepaskan. Namun, sebagian lainnya akan terus merasakan sakit. "Nah, terapi cermin ini akan mempengaruhi kerja otak dengan menyusun kembali kesan akan tubuh dan menghentikan rasa sakit," ia menambahkan.
Rasa yang mengganggu
Dalam penelitian lebih lanjut untuk menguji teori ketidaksesuaian persepsi otak itu, McCabe dan teman-temannya dari Bath Royal National Hospital bagian penyakit rematik melakukan pengujian terhadap 41 sukarelawan yang bertubuh sehat.
Seperti pada pengujian sebelumnya, mereka diminta untuk duduk di depan cermin yang membagi tiap orang menjadi dua, memberikan bayangan tubuh yang simetris pada cermin, dan mereka diminta untuk meyakini bahwa bayangan itu adalah kondisi mereka yang sesungguhnya.
Mereka diminta menggerakkan kedua tangan sambil melihat bayangannya di cermin, untuk menciptakan ketimpangan dari gerakan tangan sesungguhnya - yang tersembunyi dari cermin - dengan gerakan tangan yang terlihat di cermin.
"Dengan segera mereka merasakan sesuatu yang tidak nyaman pada tangan yang tidak tampak di dalam cermin, mulai dari rasa tidak nyaman ringan hingga menyakitkan," ujar McCabe. "Beberapa orang merasakan ketidaknyamanan ini menjadi sesuatu yang menyakitkan selama 20 detik masa pengujian."
Meski begitu tidak semua orang sependapat dengan McCabe. Contohnya Peter Buckle, seorang ahli dalam bidang RSI dari Robens Centre for Health Ergonomics di Surrey University.
Menurut Buckle otak memang dapat dibingungkan dengan memberikan perbedaan akan gambaran dan kondisi yang nyata. Namun, ia tidak yakin bahwa ini merupakan suatu faktor yang mempengaruhi pada pasien RSI. "RSI telah ada selama ratusan tahun dan merupakan gejala fisik yang nyata, termasuk peradangan dan kerusakan syaraf," ujarnya. (k-1)
Sumber:
NewScientist.com/kcm
CRPS terjadi pada satu dari tiga orang pasien yang mengalami patah tulang pada pergelangan tangan. Mereka merasakan... sakit yang terus menerus pada lengan, tangan, atau bahu setelah gips dilepaskan. Rasa yang timbul itu bisa sangat menyakitkan sehingga beberapa pasien ingin melakukan amputasi, ujar Candy McCabe, peneliti dari University of Bath di Inggris yang mengembangkan terapi cermin.
Pada penelitian tersebut, delapan pasien CPRS diminta duduk di depan sebuah cemin panjang. Cermin ini ditempatkan sedemikian rupa sehingga tiap-tiap pasien hanya melihat bagian tubuhnya yang sehat serta bayangannya di cermin.
Lengan yang mengalami nyeri disembunyikan dari pandangan mereka, dan bayangan pada cermin menunjukkan bahwa mereka seolah memiliki dua tangan yang sehat. Mereka kemudian diminta berkonsentrasi dan meyakini bayangan pada cermin itu adalah kondisi nyata.
"Lewat cara ini, tiga pasien mengalami sembuh secara cepat, sedangkan yang lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama," kata McCabe. "Namun, ketika cermin dipindahkan, rasa nyeri kembali muncul."
Meski demikian, lewat terapi cermin secara terus-menerus, enam orang pasien dapat sembuh secara total. Dua pasien lain menjadi perkecualian karena mengalami komplikasi pada tungkai dan penyimpangan fisik yang nyata.
Memperbaiki kesan tubuh
Sejak percobaan McCabe sukses diterapkan pada pasien CPRS dan RSI, ia yakin bahwa rasa sakit timbul karena ketimpangan otak dalam mempersepsikan tubuh dengan kondisi tubuh yang sebenarnya.
Otak terus-menerus mengirimkan sinyal ke tubuh, memperkirakan hal-hal seperti bentuk dan ukuran bagian tubuh serta lokasinya. Sistem sensor syaraf meresponnya dengan mengirimkan kembali informasi itu, memungkinkan otak memperbaiki gambarannya terhadap tubuh.
"Ketika lengan tidak dapat digerakkan karena di-gips, terjadilah ketimpangan persepsi," ujar McCabe, "Otak mengirimkan sinyal ke lengan tetapi tidak mendapatkan jawaban, sehingga otak akan membentuk sendiri kesan rasa sakit di bagian tubuh itu."
Banyak orang sembuh dari ’kebingungan’ itu secara spontan ketika gips di lepaskan. Namun, sebagian lainnya akan terus merasakan sakit. "Nah, terapi cermin ini akan mempengaruhi kerja otak dengan menyusun kembali kesan akan tubuh dan menghentikan rasa sakit," ia menambahkan.
Rasa yang mengganggu
Dalam penelitian lebih lanjut untuk menguji teori ketidaksesuaian persepsi otak itu, McCabe dan teman-temannya dari Bath Royal National Hospital bagian penyakit rematik melakukan pengujian terhadap 41 sukarelawan yang bertubuh sehat.
Seperti pada pengujian sebelumnya, mereka diminta untuk duduk di depan cermin yang membagi tiap orang menjadi dua, memberikan bayangan tubuh yang simetris pada cermin, dan mereka diminta untuk meyakini bahwa bayangan itu adalah kondisi mereka yang sesungguhnya.
Mereka diminta menggerakkan kedua tangan sambil melihat bayangannya di cermin, untuk menciptakan ketimpangan dari gerakan tangan sesungguhnya - yang tersembunyi dari cermin - dengan gerakan tangan yang terlihat di cermin.
"Dengan segera mereka merasakan sesuatu yang tidak nyaman pada tangan yang tidak tampak di dalam cermin, mulai dari rasa tidak nyaman ringan hingga menyakitkan," ujar McCabe. "Beberapa orang merasakan ketidaknyamanan ini menjadi sesuatu yang menyakitkan selama 20 detik masa pengujian."
Meski begitu tidak semua orang sependapat dengan McCabe. Contohnya Peter Buckle, seorang ahli dalam bidang RSI dari Robens Centre for Health Ergonomics di Surrey University.
Menurut Buckle otak memang dapat dibingungkan dengan memberikan perbedaan akan gambaran dan kondisi yang nyata. Namun, ia tidak yakin bahwa ini merupakan suatu faktor yang mempengaruhi pada pasien RSI. "RSI telah ada selama ratusan tahun dan merupakan gejala fisik yang nyata, termasuk peradangan dan kerusakan syaraf," ujarnya. (k-1)
Sumber:
NewScientist.com/kcm
Labels: Popular Psychology
0 Comments:
Post a Comment
<< Home